Oleh Idham Malik, Community Development Yayasan Blue Alliance Indonesia-Anggota Sekretariat Komite Pengelolaan Perikanan dan Pesisir Lestari (KP3L) Bangkep
SEKITAR 40 anggota Komite Pengelolaan Perikanan dan Pesisir Lestari (KP3L/PELARI) Banggai Kepulauan (Bangkep) berkumpul di ruangan Hotel Santika, Kota Luwuk, Kabupaten Banggai, Prov. Sulawesi Tengah, Kamis, 26 September 2024.
Jauh-jauh mereka dari Bangkep, datang sehari sebelumnya menumpangi kapal Laddy Lubato untuk berbagi peran dalam pengelolaan perikanan tahun 2025 hingga 2029.
Saya pun mengikuti kegiatan tersebut, bersama tim dari Blue Alliance Indonesia. Senang juga rasanya karena dapat berkunjung ke Kota Luwuk, setelah tiga bulan terkurung di Pulau Peling.

Komite ini tampaknya semakin menancapkan akar-akarnya, dalam tiga bulan saja, kegiatan komite bergerak seperti tuas sebuah mesin, yang terus menggerakkan roda-roda.
Sejak disahkan dengan Keputusan Bupati Banggai Kepulauan Nomor 440 tahun 2024 pada 20 Juli 2024, komite bergerak melalui Focus Group Discussion (FGD) untuk kalangan Organisasi Perangkat Daerah (OPD) Bangkep pada 13 Agustus 2024.
Dr. Ferdy Salamat pun menjelaskan pentingnya komite untuk mengatasi karut marut pengelolaan perikanan. Produksi perikanan belum betul-betul memberi kebebasan hidup kepada warga nelayan.
Masih rentannya masyarakat yang tinggal di daerah pesisir untuk terpelanting ke tingkat di bawah subsistensi (bertahan hidup), yang mendorong sebagian kecil dari mereka untuk melakukan praktik yang dilarang seperti pengeboman dan pembiusan ikan.
Pengeboman ikan, apalagi pembiusan ikan masih terus berlangsung secara sembunyi-sembunyi maupun terang terangan. Masyarakat pesisir dan pemerintah desa seakan tidak berdaya berhadapan dengan para pelaku.
Mereka cukup kecewa dengan penanganan para pelaku yang dengan begitu gampang bebas setelah tertangkap. Penegakan aturan untuk para penangkap ikan skala menengah dan besar seperti Pajeko (kapal mini purse seine dengan kapasitas 10 GT), yang turut menangkap di area perikanan skala kecil.
Masih banyaknya sampah plastik yang berarak di laut pesisir, hingga masuk ke teluk Ambelang dan Teluk Tinangkung, merusak pemandangan, menimbulkan bau dan merusak mental kita.
Persoalan kemiskinan, yang masih di sekitar 11%, 35% diantaranya adalah masyarakat nelayan. Hingga perlunya efektivitas pengelolaan kawasan perlindungan laut/Marine Protected Area (MPA) yang telah dicadangkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan, yang luasnya lebih dari 680.000 hektar, sampai saat ini mekanisme pengelolaannya betul-betul kacau balau.
Dr. Ferdy Salamat menjelaskan hal-hal tersebut berkali-kali di forum-forum komite, seperti pada Konsultasi Publik yang melibatkan aparat desa dan kecamatan di Sambulangan, Lumbi-Lumbia, Liang, Kalumbatan sampai di Salakan, selama 2 minggu berturut-turut, dari 28 Agustus hingga 4 September, melibatkan 12 kecamatan dan 133 desa pesisir, dan 144 kelompok perikanan.
Menurut Ferdy, ini karena tatakelola perikanan yang belum jelas. Itulah sebabnya, Komite ini akan bergerak simultan, setelah menancapkan pengaruh ke OPD-OPD terkait, termasuk kepada Lembaga-lembaga donor selain Blue Alliance Indonesia, Burung Indonesia dan Yayasan LINI, komite ini segera mensinergikan rencana kerja komite ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), yang nantinya RPJMD yang bersifat teknokratik ini akan bergumul dengan rencana yang bersifat politis, sesuai dengan visi dan misi bupati terpilih kelak.
Selain itu, urusan perikanan ini akan diperdalam dan diperjelas dalam Peraturan Daerah (PERDA) Perikanan, kemudian diikuti oleh Peraturan Desa (Perdes) pengelolaan perikanan di setiap desa pesisir.
Langkah tiki taka komite semakin tajam, sebab pada hari kamis itu, perwakilan OPD masing-masing menyusun rencana kerja, untuk memenuhi indikator-indikator dalam tiga kamar besar perencanaan, yaitu Pengelolaan ekosistem, pengelolaan sumberdaya ikan dan alat penangkapan ikan, sosial ekonomi dan kelembagaan.
Komite ini cukup ambisius, pada tahun pertama akan menyelesaikan hal-hal yang bersifat mendasar, seperti data kondisi awal terumbu karang, mangrove, lamun, kawasan habitat khusus (tempat bertelur ikan, tempat kawin ikan, jalur migrasi paus dll), pendataan produksi perikanan dan budidaya secara real time, pendataan alat tangkap, kapal, data nelayan, dan pendampingan perizinan kegiatan penangkapan ikan.
Pengelolaan ekosistem dan sumberdaya perikanan ini akan berkonsentrasi untuk mengidentifikasi tingkat kesehatan ekosistem, agar diketahui kemampuannya untuk menghasilkan sumberdaya ikan yang dapat dimanfaatkan para nelayan dalam jangka panjang, bukan dalam hitungan 5-10 tahun saja. Pada divisi ini juga diperkuat aspek penegakan aturan dan pengawasan perikanan, sehingga pihak-pihak yang berpotensi akan merusak ekosistem dan mengganggu keseimbangan produksi alamiah ikan akan diatasi secara kultural dan penegakan hukum.
Saya turut terlibat dalam pendampingan OPD-OPD yang merumuskan aspek sosial dan ekonomi. Rencana kerja di bidang ini juga cukup ambisius, akan melakukan pembinaan terhadap kelompok-kelompok nelayan dan pembudidaya, Poklahsar (kelompok pengolah dan pemasar), Pokmaswas (kelompok pengawas), Bumdes (Badan Usaha Milik Desa), UMKM (Usaha Mikro, Kecil dan Menengah), koperasi perikanan.
Memang, salah satu tugas besar kabupten ini, yaitu melakukan pembinaan secara serius dan tulus terhadap lembaga-lembaga yang sudah terbentuk. Muncul kesan, terlebih kelompok nelayan, hanya dididirikan untuk penyerahan bantuan kapal atau alat tangkap. Itulah sebabnya, pada perencanaan komite ini, fokus pada pembinaan lembaga-lembaga perikanan tingkat masyarakat dan lembaga ekonomi kecil menengah.
Memang, dibutuhkan penelitian serius untuk menilai kemampuan lembaga ekonomi mikro ini untuk bertahan dan berkembang, dimulai dari membangun iklim bisnis yang sehat dalam kabupaten dengan mendorong sektor-sektor pendukung, seperti pariwisata, budaya, dan pembukaan lapangan kerja untuk peningkatan ekonomi makro masyarakat, sembari melakukan pendampingan penguatan kualitas produk sesuai kebutuhan pasar dan berdasarkan hasil riset pasar dan hasil rencana bisnis yang terukur.
Sembari mencari jejaring untuk penguatan modal UMKM, mendorong peningkatan literasi keuangan, dan manajemen bisnis sesuai dengan karakter pebisnis yang tangguh, jujur, bertanggungjawab, serta memiliki visi jauh ke depan dan pintar melihat peluang, serta tak takut mengambil resiko.
Harapannya, pada 2029 nanti, setengah dari lembaga ekonomi tersebut menjadi mandiri dan tidak lagi memperoleh bantuan dari pemerintah. Penguatan institusi ekonomi harus dimulai dengan penguatan institusi politik, mulai dari tingkat kabupaten hingga desa.
Sebab, menurut Daron Acemoglu dan James A. Robinson, penulis buku “Mengapa Negara Gagal”, kegagalan suatu negara bukan hanya disebabkan oleh faktor sumberdaya alam, bukan hanya oleh kebudayaan, bukan juga oleh indikasi kebodohan pemimpinnya, tapi pada tata Kelola politik dan ekonominya.
Sebuah pertanyaan diajukan, apakah institusi politik di kabupaten hingga ke tingkat desa memberi kebebasan atau memberikan dukungan pada penguatan institusi ekonomi, yang memiliki dampak signifikan pada publik secara umum, dan bukan untuk kepentingan golongan dan elit tertentu?
Tentu, hal ini bukan hal mudah, sebab, kultur institusi politik dan ekonomi tak lepas dari sejarah perjalanan pengelolaan politik suatu bangsa/kaum/kabupaten, jika bangsa itu sudah dari dulu mempraktikkan sistem politik ekstraktif yang hanya untuk menguntungkan sebagian kecil golongan dan berfungsi untuk mempertahankan kekuasaan kelompok-kelompok tertentu? Besar kemungkinan institusi ekonomi yang dibangunnya juga bersifat ekstraktif.
Daron dan James mengatakan jika politik bersifat ekstraktif, maka Lembaga ekonomi juga bersifat ektraktif. Apa maksud? Yaitu lembaga dan juga kebijakan-kebijakan pemerintah kurang memberi peluang untuk tumbuhnya lembaga ekonomi yang bersifat inklusif, yang memberi rangsangan/insentif ekonomi, mengurangi hambatan, dukungan modal dan jaminan keamanan, serta dukungan peningkatan kapasitas sumberdaya manusia, serta dukungan pasar. Politik inklusif memberi ruang kekuasaan yang lebih besar kepada publik untuk terlibat dalam perencanaan, mengakses sumberdaya serta melakukan monitoring dan evaluasi atau check and balance.
Saya sempat berdiskusi dengan seorang fasilitator desa di Buko Selatan, dia menjelaskan motif dasar para pimpinan desa, yang lebih pada menggunakan kekuasaannya untuk mengakses anggaran dan membuat program yang kemungkinan dapat memberi keuntungan jangka pendek kepada diri dan kroninya, sehingga program kerja yang memberi peluang untuk peningkatan ekonomi masyarakat jarang terwujud.
Padahal, di desa sudah ada mekanisme Bumdes serta dana desa yang dapat digunakan untuk mendukung sebuah rencana usaha desa serta peningkatan kapasitas warga desa. Karena itu, perlu upaya keras untuk membalik keadaan, mendorong arus balik menuju inklusifitas dengan cara mendorong tata kelola dan manajemen tingkat atas, membuka ruang kekuasaan kepada publik, dan juga menempuh jalur kebudayaan sebagai kekuatan tandingan.
Penyusunan rencana kerja Komite Perikanan ini memberi titik terang. Dinas-dinas terkait didorong untuk bergerak di rel yang sama. Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa (BPMD) didorong untuk menyusun rencana pelatihan untuk seluruh BUMDes, meminta agar dana desa sebagian diperuntukkan untuk program perikanan di desa pesisir serta tersedianya Peraturan Desa (Perdes) pengelolaan perikanan di setiap desa pesisir.
Dinas Koperasi Perindustrian dan Perdagangan (Koperindag) diminta untuk pelatihan UMKM dan pengembangan koperasi perikanan. Dinas Pariwisata tidak sekadar menyediakan fasilitas tambahan pada kawasan wisata pesisir, tapi juga melakukan pembinaan dan pelatihan terhadap Pokdarwis (Kelompok Sadar Wisata).
Penyuluh perikanan lebih aktif melengkapi data perikanan dan membina masyarakat nelayan. Dinas Sosial bukan sekadar memberikan bantuan sosial, tapi secara serius mencarikan resolusi konflik terhadap konflik antar nelayan, dan menyadarkan masyarakat yang melakukan aktivitas perusakan ekosistem laut.
Dinas pendidikan memberikan Pendidikan alternatif kepada masyarakat nelayan dan memasukkan kurikulum lingkungan hidup pada Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah.
“Saya pikir ini dapat dilakukan, jika rencana kerja Komite disesuaikan dengan Indikator Kinerja Utama (IKU) masing-masing instansi OPD,” kata Dr. Ferdy Salamat, selaku Ketua Komite.
Apakah dengan tersedianya rencana kerja lintas OPD itu dianggap cukup? Tentu itu jauh dari cukup, itu masih di langkah-langkah awal yang digiring dari garis belakang pertahanan. Tugas Ketua Komite selaku kapten dan playmaker untuk memastikan adanya regulasi yang mendukung, seperti Perda Pengelolaan Perikanan, dan terintegrasinya program kerja komite dalam RPJMD.
Kemudian, memastikan pemenang pemilu, dalam hal ini bupati yang baru memiliki kesadaran yang sama, sehingga rencana teknokratik yang disusun oleh komite dapat bersinergi dengan kepentingan politis Bupati baru.
Persoalan lainnya, yaitu memastikan ketersediaan sumberdaya manusia untuk mengelola rencana-rencana, yang berarti menyelenggarakan pelatihan-pelatihan teknis untuk para pengurus komite perikanan. Lebih penting dari pelatihan teknis, adalah revolusi mental pengurus komite itu sendiri, bahwa motif/mental model dasar tindakannya tidak lagi sekadar berorientasi pada pemenuhan kebutuhan diri sendiri atau sekadar menggugurkan tanggungjawab kerja, tapi setiap tindakan/kerja dilakukan sepenuhnya untuk perkembangan dan pembangunan Kabupaten Banggai Kepulauan.
Para peserta Rapat Kerja Komite Perikanan kembali ke Salakan pada Jumat, 27 September 2024. Harapannya rencana besar itu tidak hanya tertoreh pada lembar excel di laptop. Kita doakan yang terbaik untuk komite.
Saya mendengar Ketua Komite bersama Blue Alliance dan Burung Indonesia sedang di Palu pada tanggal 1 Oktober 2024, rencananya akan berkoordinasi dengan Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Sulawesi Tengah untuk mengabarkan perkembangan komite perikanan Bangkep.
Mudah-mudahan ada kabar besar dari sana. Dari group komite juga sudah terdapat draf Instruksi Bupati Banggai Kepulauan untuk Larangan Penangkapan Ikan dengan Menggunakan Bahan Peledak, Bius, Racun, dan Alat-alat Listrik. What next, tiki taka Komite?
Komentar