MORUT, RADARSULAWESI – Suriadi, petani asal Desa Bungintimbe, Kabupaten Morowali Utara (Morut), Sulawesi Tengah (Sulteng) menggugat PT Gunbuster Nickel Industry (GNI) dan PT Stardust Estate Invesmen (SEI).
Suriadi terpaksa menyeret dua perusahaan tambang raksasa itu ke meja Pengadilan Negeri (PN) Poso, Sulteng lantaran merasa dirugikan. GNI dan SEI dianggap menyerobot lahan milik petani sejak tahun 2021 silam.
Suriadi melalui kuasa hukumnya, Moh Rivaldy Prasetyo S.H mengatakan, kasus ini merupakan bentuk penindasan terhadap hak-hak masyarakat.
Ironisnya menurut Rivaldy, polemik yang telah berlangsung tiga tahun ini tanpa sepengetahuan pimpinan pusat perusahaan industri pengolahan smelter nikel di Morut tersebut.
Oleh karena itu, pihaknya kekeh mengadukan perkara ini ke pengadilan sebagai upaya mencari keadilan. “Kami meminta hak ganti rugi atas lahan yang telah digunakan oleh tergugat (perusahaan),” tegasnya melalui konferensi pers di Kota Poso, Rabu 2 Oktober 2024.
Dalam perkara ini, kuasa hukum berharap majelis hakim bisa bersikap netral dan independen dengan mengedepankan azas keadilan.
“Kami berharap majelis hakim adil dalam mengambil keputusan,” harapnya.
Jalur pengadilan sejatinya bukanlah langkah awal yang diambil penggugat, dalam hal ini Suriadi.
Sebab sebelumnya, Suriadi bersama keluarga sudah melakukan protes melalui aksi pemalangan jalan masuk areal PT GNI.
Dalam keterangan awalnya, lahan yang dimiliki secara keseluruhan seluas 10 hektar. Pada tahap awal, perusahaan telah membayarkan ganti rugi lahan seluas enam hektar. Sementara empat hektar sisanya akan diselesaikan pada tahap kedua.
Kesepakatan itu tercapai setelah dilakukan mediasi antara pemilik lahan dengan utusan pihak perusahaan bernama Choi.
Namun seiring berjalan waktu, perusahaan tak kunjung menyelesaikan pelunasan ganti rugi sisa lahan. Karena dianggap tidak komitmen, Suriadi pun akhirnya mengambil langkah tegas yang berujung pada gugatan ke PN Poso.
Kasus ini bahkan mendapat perhatian serius dari sejumlah aktivis agraria. Noval A Saputra, Aktivis Agraria Sulteng salah satunya.
Menurutnya, masih banyak petani lain yang berhadap-hadapan dengan perusahaan. Namun, dominasi ekonomi politik yang culas dinilai jadi faktor pengikis keberanian petani dalam menyuarakan haknya.
“Petani diberbagai tempat berusaha dan berjuang untuk mempertahankan hak atas tanahnya, tapi mereka tidak berdaya karena setiap kali berurusan dengan perusahaan ekstraktif hampir dipastikan petani akan berhadapan dengan aparat TNI/Polri,” tuturnya.
“Sehingganya lembaga hukum Pengadilan diharapkan mampu memberikan keadilan kepada rakyat kecil yang mecari keadilan,” masih katanya mengakhiri pernyataan.***
Komentar