banner 728x250

PT KLS, Meraup Untung Dari Merusak Hutan

  • Bagikan
PT KLS, Meraup Untung Dari Merusak Hutan
banner 468x60

PALU, RADAR SULAWESI – Praktik buruk pelaku bisnis perkebunan sawit skala besar di Sulawesi Tengah, bisa dikatakan terus bekelanjutan tanpa adanya penegakan hukum. Perusahaan-perusahaan sawit yang beroperasi sejak beberapa dekade silam sampai saat ini, terus saja meraup keuntungan yang berlipat ganda dari praktik kotor yang sebenarnya mereka lakukan.

Di Sulteng , terdapat 178 Hak Guna Usaha (HGU) yang dimiliki oleh 16 perusahaan perkebunan sawit, dengan total luasan 128.265 ha yang tersebar di 7 kabupaten yakni, Buol, Toli-Toli, Donggala, Morowali, Morowali Utara dan kabupaten Banggai. Perusahaan-perusahaan ini tentu tidak serta merta melancarkan praktik bisnisnya tanpa adanya jejak yang kotor mereka lakukan.

banner 728x250

Misalnya di kabupaten Banggai, terdapat salah satu perusahaan perkebunan sawit PT Kurnia Luwuk Sejati (KLS) yang telah lama eksis menjalankan praktik bisnisnya, namun melakukun praktik buruk dengan menanam sawit di wilayah Kawasan hutan. 

Perusahaan milik keluarga Murad yang juga salah satu taipan lokal di Banggai ini, sedari awal berada di Desa Sinorang, Kecamatan Batui Selatan, Kabupaten Banggai. PT KLS hanya memiliki hak guna usaha (HGU) Nomor 15/HGU/1991 tertanggal 2 Oktober 1991 seluas 6.010 hektar. Selain itu, PT. KLS juga memiliki izin usaha pengelolaan hasil hutan kayu hutan tanaman industri (IUPHHK HTI) kepada PT Berkat Hutan Pusaka (BHP). Izin konsesi itu bernomor SK 146/Kpts-II/1996 dengan seluas 13.400 hektar yang terbit 1 April 1996.

Dalam laporan “Sawit Di Sulteng Mengalir Ke Perusahaan Berkomitmen Hijau” Yayasan Kompas Peduli Hutan (KOMIU), yang di publikasikan melalui kanal Benua,id oktober 2022 lalu menjelaskan, BHP merupakan perusahaan patungan antara PT KLS, pemilik 60% saham dan PT Inhutani. 

KLS mengakuisisi saham Inhutani, dan jadi pemilik tunggal. Sejak itulah, pembukaan lahan mulai dilakukan oleh PT. KLS dengan dana pinjaman dari pemerintah untuk menanam sengon dan akasia, sebesar Rp 11 miliar. Kenyataan lapangan berbeda, pengolahan HTI itu berubah jadi kebun sawit. Anehnya, IUPHHK HTI itu berada diatas HGU yang sudah terbit sebelumnya. 

Namun, pada tahun 2005 terbit juga Izin lokasi yang diberikan oleh Sudarto Bupati saat kepada PT. KLS untuk keperluan usaha perluasan perkebunan kelapa sawit. Izin lokasi itu bernomor SK 503/10.52/BPN tentang Perpanjangan Izin Lokasi dengan luasan yang sama, yaitu 6.010 hektar.

Sehingga izin-izin itu yang diduga menjadi alat untuk pembukaan lahan (land clearing) pada hutan alam hingga ke kawasan konservasi Suaka Margasatwa Bakiriang . PT. KLS kemudian melakukan deforestasi bruto akibat dari aktivitas land clearing untuk perluasan perkebunan kelapa sawit mencapai 19.971 hektar dalam kurun waktu 20 tahun dengan rata-rata 951 pertahun.

“Menurut saya perusahaan seperti PT KLS ini bukan tidak lain ialah fakta bahwa dengan kepentingan modal yang begitu kuat membuat perusahaan ini seenaknya melakukan praktik kotornya, menanam dalam Kawasan hutan merupakan bukti kuat bahwa PT KLS adalah sumber bencana bagi masyarakat Banggai, pemerintah tidak boleh menawar atau mengabaikan kasus seperti ini, PT KLS harus diberikan sanksi tegas dan harus tunduk terhadap hukum yang berlaku,” tegas Aulia Hakim, Pegiat Lingkungan Hidup Sulteng.

Selain itu, KOMIU juga mencatat detail deforestasi berdasarkan jenis Kawasan Hutan dilakukan oleh PT. Berkat Hutan Pusaka (Kini menjadi PT. KLS) di beberapa wilayah yang sudah ditebang atau dikonversi menjadi sawit yaitu; Area Penggunaan Lain (APL) 11.403,50 Hektar, Hutan Produksi (HP) 3.468,18 Hektar, Hutan Produksi Terbatas (HPT) 1.209,39 Hektar, Hutan Lindung (HL) 112,83 Hektar.

Ironisnya, di wilayah Kawasan Konservasi Suaka Margasatwa Bakiriang, ada sebesar 3.532,46 Hektar mengalami deforestasi akibat ditanami sawit. 1.077 Hektar diantaranya merupakan pembukaan baru dari tahun 2019 sampai dengan 2021, dan 931 hektar eksisting sawit yang sudah ada, serta 1.524 hektar belum teridentifikasi secara pasti, tapi diduga bisa jadi sawit muda.

Berdasarkan penelusuran dan temuan di lapangan, PT. Kurnia Luwuk Sejati (KLS), PT. Sinergi Perkebunan Nusantara (SPN), dan PT. Pasangkayu diduga kuat melanggar Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Dimana, dalam Pasal 17 ayat (2) dilarang keras adanya kegiatan perkebunan tanpa izin Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan di dalam kawasan hutan.

PT KLS juga diduga kuat melanggar Undang-undang nomor 5 tahun 1990 tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistem, karena sudah merusak kawasan konservasi yang menjadi rumah bagi berbagai jenis flora fauna.

Hal ini juga kemudian di iayakan oleh pihak Gakumdu Subagyo, Kepala Seksi Wilayah II, Balai Gakkum Lingkungan Hidup dan Kehutanan Wilayah Sulawesi mengaku pada tahun 2017, pihaknya menemukan ada perambahan kawasan perkebunan sawit seluar 1.005 hektar di dalam kawasan konservasi SM Bakiriang. Ia juga mengatakan bahwa pihaknya juga menemukan ada 68 kepala keluarga (KK) penggarap sawit plasma dengan luas 250 hektar untuk diserahkan ke PT. KLS.

Dengan temuan itu, kata Subagyo, Oktober 2019, PT. KLS  bersama Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sulawesi Tengah membuat kesepakatan perjanjian untuk rehabilitasi atau restorasi dalam kawasan konservasi yang sudah ditanami sawit. PT. KLS bersedia memfasilitasi lapangan pekerjaan untuk petani plasma dan melakukan relokasi.

Menurut Yayasan Kompas Peduli Hutan data evaluasi menggunakan Citra Satelit Sentinel tersebut dilakukan pada januari 2020 dan diverifikasi di lokasi pada bulan Februari 2022 kemarin. Sawit yang berada di dalam kawasan konservasi itu sudah sangat lama. Bahkan, Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sulawesi Tengah mengetahuinya, namun sampai hari ini belum diketahui proses penyelesaiannya.

“kami meminta untuk pihak Gakum LHK dan Pemerintah Provinsi dan Kabupaten untuk segera memanggil dan memeriksa apakah PT KLS sudah melakukan kewajibannya atau PT KLS ini memang kebal hukum, sebab secara rantai pasok yang dimana  PT. KLS tercatat menjadi pemasok PepsiCo Unilever dan Wilmar. 

AAK dan Nestlé juga masuk daftar dalam rantai pasok sebagai pembeli akhir produk sawit PT. KLS melalui Cargill dan ADM, sehingga penting juga melihat bahwa perusahan-perusahaan pembli CPO PT KLS memilik komitmen keberlanjutan ataupun mengadopsi kebijakan Nol Deforestasi, Nol Gambut, Nol Eksploitasi (NDPE)” tutup Aulia Hakim. ***

banner 325x300
banner 120x600
  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *