banner 728x250

Laut Masih Terus Berbunyi

  • Bagikan
Kolase foto penulis Idham Malik dan perahu nelayan tradisional di perairan Banggai Kepulauan.
banner 468x60

Tinjauan Kritis Pengeboman Ikan Banggai Kepulauan oleh Idham Malik, Pemerhati Laut Bangkep, dan Pegiat di Yayasan Blue Alliance Indonesia

PERTEMUAN-PERTEMUAN selama lima hari di desa-desa pesisir Kecamatan Buko Selatan dan Bulagi Selatan, Kab. Banggai Kepulauan, 9-13 September 2024 memaksa saya untuk mendefinisikan kembali isu pengeboman ikan. Isu pengeboman ikan menjadi perhatian kami, para pegiat lingkungan laut Banggai, sebab bom masih terbilang marak dan menjadi bayang-bayang yang terus menghantui konservasi laut Banggai.

Saat ini terdengar sudah berkurang, dibandingkan misalnya 30 tahun lalu, yang mungkin sesuatu yang lumrah dilakukan oleh nelayan di kampung-kampung pesisir tertentu. Ini diakui oleh beberapa nelayan senior yang kami temui, baik di Bongganan hingga Balalon.

“Saya berhenti tahun 1991, saat itu bom meledak beberapa depa di bawah perahu. Perahu terbelah dan beruntung kami masih selamat,” kata Risman, nelayan asal Balalon. 

Beberapa nelayan pengebom yang jumlahnya sebenarnya sudah surut itu, sudah kurang dari 10 orang dalam satu desa, telah menyatakan tobat. Djimran tobat sejak 3 tahun lalu, sebab bom di tangannya meledak dan menghilangkan jari-jari tangan kanannya, yang hanya menyisakan telunjuk dan ibu jari. Kini ia fokus menjadi Kepala Dusun 3 Desa Lelang Matamaling. Paijo dari Desa Kambani tobat karena kedapatan mengebom oleh Polairud (Polisi Air dan Udara) juga pada tiga tahun lalu. Sempat mendekam di penjara selama 3 bulan. Joni dari Desa Landonan Bebeu juga mengaku tobat setelah dipenjara 6 bulan, akibat tertangkap basah di tengah laut oleh Polairud yang menyamar jadi pengumpul ikan, ternyata membawa senjata di bawah Styrofoam. Kini Joni mencari tambahan uang dengan menjadi buruh petik cengkeh dan ditugaskan oleh desa menjadi tenaga pengamanan kampung. Adapula Rico, pengebom legendaris, yang tak berhenti walaupun sudah ditangkap, akhirnya, pada perkembangan terakhir sudah mulai berhenti lantaran ikut menjadi nelayan Pa’jala (jala rumpon) di Desa Lelang Matamaling.

Meski begitu, masih banyak nelayan lain yang tetap menjalankan aktivitas pengeboman ikan. Dari data kami, yang sudah dua bulan melakukan penggalian informasi di Buko Selatan dan Bulagi Selatan, terhitung 29 nelayan yang masih aktif melakukan pengeboman ikan. Sayangnya, beberapa diantaranya sudah pernah ditangkap oleh pihak kepolisian.

Tentu ini menimbulkan pertanyaan, kenapa mereka masih melakukan tindakan itu? Walau sudah mendapatkan hukuman dan pastinya sudah mendapatkan pembinaan dari otoritas kepolisian.

Senin malam, 9 September 2024, kami berdiskusi dengan Pokmaswas Desa Bonepuso, Kec. Bulagi Selatan. Pokmaswas ini ternyata sudah dibentuk 5 tahun lalu, namun sudah lama tidak aktif. Meski begitu, mereka kompak malam itu, semua anggota kelompok datang untuk berdiskusi. Mereka pun melontarkan alasan-alasannya. Kata mereka, percuma untuk bergerak mengatasi pengeboman, karena setelah mereka melapor, tidak memperoleh tindak lanjut. Mereka pun sering melihat dan mendengar pengeboman berlangsung di laut dekat desa mereka, namun mereka tak dapat berbuat apa-apa.

“Mereka membawa bom, sementara kami tak membawa apa-apa (senjata), jadi kami tidak berani,” kata Mbei, nelayan dan anggota Pokmaswas.

Mereka pun tidak pernah lagi dilibatkan dalam pengawasan, padahal bom hampir setiap hari minggu berbunyi. Mereka tak dapat mengawasi, karena itu hari ibadah mereka di Gereja.

Mereka juga melihat langsung nelayan yang berhasil ditangkap, hanya diantar oleh aparat ke rumah nelayan di desa lainnya, kemudian dari situ dilepas begitu saja. Hal yang seperti ini yang membuat nelayan lain kecewa dan semangatnya mengendor. Mereka tampaknya menunjukkan sikap tidak begitu percaya oleh penegak hukum. Saya tiba-tiba teringat dengan salah satu kalimat dalam artikel Rocky Gerung tentang “kemiskinan kota dan Pilihan Kebijaksanaan”, ia bilang, “pengentasan kemiskinan justru harus dicari di luar komunitas masyarakat miskin itu sendiri”, jika diganti masyarakat miskin dengan nelayan bom, terdengar begini, “mengatasi pengeboman ikan harus dicari di luar komunitas nelayan pengebom itu sendiri”.

Rocky bilang dalam kerangka pandangan strukturalis. Suatu fenomena memiliki hubungan-hubungan struktur material, ada pihak-pihak yang diuntungkan. Pada setiap pertemuan dengan nelayan, kami sering mendengar istilah ATM, kata mereka, pengebom ini sudah menjadi ATM. Rumor ini sebenarnya harus diklarifikasi, sebelum kecurigaan masyarakat semakin berlarut-larut, dan mengikis kepercayaan dengan institusi pemerintah.

Ada juga nelayan dari Balalon, bilang, agak kaget dengan rencana penghapusan pengeboman ini, karena menurutnya ini sudah berlangsung puluhan tahun dan tidak tuntas-tuntas. Ia pun terlihat sungkan untuk menyebutkan nelayan di desa itu yang masih melakukan pengeboman, karena menurutnya setiap nelayan berhak untuk mencari penghidupan. “Kita sama-sama nelayan, sama-sama cari makan, kenapa pengebom tidak dapat seperti nelayan yang lain? Namanya juga manusia, punya hobi yang berbeda, jurusan yang berbeda”. Pernyataan ini mengandung sikap permisif, bahwa pengeboman adalah hal yang lumrah, sejauh nelayan yang lain masih memperoleh ikan dari laut. Apalagi jika para nelayan ini mengidentikkan diri sebagai orang kecil, “kita ini melihat orang atas, orang yang di atas memang sudah melakukan apa”.

Saya pun menyambut komentar itu, “Bapak bisa tidak percaya sama yang lain, tapi kali ini bapak harus percaya sama Dinas Perikanan (Bangkep). Ferdy Salamat sudah berkeliling dan bertemu semua perwakilan desa pesisir di Bangkep, untuk bersama-sama mengajak desa untuk menyelesaikan perkara pengeboman ikan,” kataku padanya.

Memang, jika dipikir-pikir, menyalahkan dan menyudutkan nelayan kecil, termasuk pengebom sebenarnya sedikit melukai asas ‘keadilan’, seperti mengatakan, pejabat saja bisa korupsi besar-besaran, atau konteks Banggai Kepulauan, kenapa tambang gamping dapat diperbolehkan masuk, itu jelas-jelas merusak, kenapa kami tidak? Lagi-lagi, memang, bejatnya moral pejabat, menjadi momok buruk bagi tatanan sosial yang sudah ada.

Tampaknya ‘orang kecil’ tak dapat berbuat apa-apa. “Pasti nelayan kecil yang lain, yang tidak setuju dengan pengebom itu juga merasa jengkel. Mereka berhak melapor atau melakukan tindakan terhadap pengebom, tapi untungnya apa?” Tambah nelayan itu. Ia pun melanjutkan lagi, sejengkel-jengkelnya nelayan yang bukan pengebom, tapi kalau melihat ikan hasil bom yang terapung di laut, dia pasti ikut ambil. Bagaimana tidak, itu sudah jelas-jelas dapat menjadi uang.

Ada orang kecil yang mau berbuat, namun dibatasi oleh penegakan hukum, ada yang memang menahan kejengkelan hanya dalam hati. Aparat-aparat desa pun tidak dapat mengambil langkah lebih jauh, karena menurut mereka kewenangan desa tidak sampai ke sana. Belum lagi, jika kita mendengar bahwa hubungan antar sesama nelayan harmonis-harmonis saja, bahkan dengan pengebom itu sendiri. Memancing ikan, menjerat, panah malam, menggunakan bubu, kompressor, sama-sama nelayan.

Terdapat warga desa yang melihat nelayan-nelayan itu, adalah kerabat, tetangga, satu suku yang sama. Saya teringat teori ‘kambing hitam’ Rene Girard, tapi di sini, bukan etnik atau pihak tertentu menjadi korban-kambing hitam untuk menyelamatkan suku-suku lain, tapi, justru yang menjadi kambing hitam adalah laut itu sendiri, terumbu karang dan ikan-ikannya. Biarkanlah terumbu karang hancur, yang penting nelayan-nelayan selamat. Ini sama dengan pandangan subsistensi desa James Scott, setiap warga berjuang dan bertahan untuk tidak jatuh dari Tingkat subsistensi. Mungkin, terdapat pemakluman jika hal itu dilakukan untuk sekadar bertahan hidup atau juga barangkali untuk mengejar ekonomi. Kita melihat standar hidup warga pesisir semakin lama semakin meningkat.

Bicara standar hidup, nelayan mengaku mengikuti perkembangan. “kalau ada penjual panci masuk desa, ibu-ibu bersaing untuk membeli,” kata Risman, nelayan yang juga pengurus masjid Balalon, yang kami temui, Jumat, 13 September 2024. Ia menyadari budaya konsumtif nelayan, khususnya orang Bajo. Katanya, seandainya orang Bajo rajin menabung, pasti sudah kaya semua. Tapi, dalam hati saya berbicara, untuk apa? Kalau mereka dapat menikmati hasil keringatnya hari itu juga, kenapa harus tunda tahun depan atau beberapa tahun ke depan? Mereka masih dapat ikan esok, dan mereka menikmati hidupnya yang seperti itu. Sepertinya kita tak dapat memaksa mereka memiliki karakter seperti Kaum Kristen Metodist, yang rajin, ulet, pelit.

Mungkin penjelasan mengenai gaya hidup, kebiasaan, dan kualitas sumberdaya manusia, yang selalu dilekatkan pada pengebom dan masyarakat nelayan ini, terhubung dengan pendekatan kultural dan fungsional. Nelayan mencari ikan untuk kebutuhan ikan nelayan, meski dengan mengebom, sebagai suatu fungsi di masyarakat. Pengebom masih berlangsung, karena fungsi-fungsi pengawasan dan penegakan hukum yang mengendor. Fungsi pendidikan oleh pemerintah desa, guru-guru, dan tokoh-tokoh agama dan budaya yang tidak sampai dan tidak efektif.

Namun, menurut Antony Giddens, jika kita melihat praktik sosial hanya seputar sistem sosial berupa peran sosial ataupun struktur sosial yang menyangkut kepentingan ekonomi dan material. Kita akan terjebak pada determinisme objek dan sistem. Giddens menolak dualisme itu, struktural dan fungsional, dan menawarkan teori strukturasi, yang memberi ruang pada kehendak subjek. Manusia tak dapat dipermainkan begitu saja dalam system, manusia/aktor punya kehendak untuk berbuat sesuatu, keluar dari krisis.

Apalagi jika kita membaca buku loak “Intelektual Masyarakat Berkembang” karya Syed Husen Alatas, peranan elit intelektual suatu daerah atau kawasan sangat mempengaruhi perkembangan wilayah itu. Jatuh bangun suatu wilayah dipengaruhi oleh keputusan-kebijakan elit, jika elitnya mengalami penyakit bebal atau masuk kategori pandir, maka kacaulah masyarakat yang menjadi wewenangnya. Tapi, jika elit ini bermental intelektual, punya pemikiran luas, dapat mengidentifikasi masalah secara kritis, iktikad kuat untuk belajar dan mengatasi masalah, memiliki energi positif dan bermental baja, yakin saja, persoalan-persoalan akan dapat diatasi. Pemimpin intelektual ini, harus didukung oleh komunitas intelektual, agar perencanaan yang sistematis itu, dapat dijalankan seefektif-efektifnya.  

Lantas, kembali ke pertanyaan awal? Kenapa para pengebom ikan yang sudah ditahan itu tetap melakukan aksinya. jawaban ini tidak sekadar menyangkut struktural ekonomi ataupun fungsi peranan sosial, tapi juga melihat pada psikologis karakter manusiawinya. Kira-kira hipotesisnya begini, umumnya, pengebom ini adalah nelayan keras kepala-bebal. Banyak nelayan yang sudah berhenti karena trauma dengan kecelakaan dan kematian akibat bom, tapi orang-orang ini spesial. Para nelayan ini adalah risk taker – pengambil resiko.

Mereka tidak takut oleh resiko yang akan dihadapi, baik kecelakaan, kematian, ataupun ditangkapi oleh petugas. Para nelayan ini adalah nelayan yang melihat peluang teknik bom ikan sebagai jalan keluar ekonomi untuk meningkatkan standar hidup. Bom sebagai jalan pintas-cari yang termudah, dari pada sulit-sulit memancing atau menyelam untuk panah ikan. Sekali bom, mereka dapat memungut ratusan ikan. Tentu, karakter  dan cara-cara itu didukung oleh motif khusus, yaitu mempertahankan atau meningkatkan standar hidup. Nelayan-nelayan itu, tentu tak mau mereka turun kelas, dan kembali mengalami kesulitan ekonomi, terutamanya untuk kebutuhan sehari-hari.

Pertanyaan, pendekatan apa yang harus kita terapkan? Strukturalis, fungsionalis, strukturasi dan kepemimpinan elit, atau terapis psikologis untuk keluar dari krisis? Saya pikir semuanya Langkah harus ditempuh. Mumpung beruntung, sektor perikanan Banggai Kepulauan sudah terbentuk KOMITE Pengelolaan Perikanan dan Pesisir Lestari (KP3L), yang dipimpin Ferdy Salamat, selaku Kepala Dinas Perikanan yang berdedikasi, didampingi oleh timnya dari pemerintahan dan sektor publik dari LSM, seperti Yayasan Blue Alliance Indonesia, Burung Indonesia, LINI, Salanggar, dan mungkin nanti juga YPL atau program LAUTRA atau siapa saja yang mau mendukung.

Kemudian adanya dukungan kepala-kepala desa dan camat se bangkep untuk bersama-sama mengatasi pengeboman ikan, tentu dengan katalisator orang-orang tertentu di masing-masing desa, yang terus menerus mengajak diskusi pihak-pihak terkait.

Siapa yang mengambil peran utama dalam menjalankan rencana ini? Sebaiknya elit lokal yang di depan, bersama warga-warga desanya. LSM? Di samping atau di belakang saja.. hehehehe…    

banner 325x300
banner 120x600
  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *